Oleh : Timotius Aomsen

Gejalah marginalisasi dalam bidang politik bisa kita lihat dari perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota di Tanah Papua periode 2019-2024, dimana beberapa daerah  orang Non Asli Papua (Non-OAP) mendominasi lebih dari 50% kursi DPRD. Hal itu terjadi seperti di Kota Jayapura yang mana sebanyak 68% kursi DPRD diisi oleh Non OAP, Kabupaten Jayapura 72%, Kabupaten Sarmi 65%, Kabupaten Boven Digoel 80%, Kabupaten Merauke 90%, Kabupaten Keerom 70%, Kabupaten Sorong 85%, Kabupaten Fakfak 60%, Kabupaten Raja Ampat 55%, Kota Sorong 80% dan Kabupaten Teluk Wondama 56%.

Gejala marginalisasi dalam bidang politik di Tanah Papua tercermin dari dominasi perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota oleh Non-OAP selama periode 2019-2024. Beberapa hal yang menjadi penyebab tersingkirnya orang asli Papua (OAP) di kursi DPRD dan dampaknya dari kebijakan yang diambil bagi OAP antara lain :

Ketidak proporsionalan Kursi

Persentase kursi yang tinggi yang dikuasai oleh non-OAP, seperti yang terlihat di Kota Jayapura (68%), dan atau Kabupaten Jayapura (72%), dan daerah lainnya, menciptakan ketidak seimbangan yang mencolok dalam distribusi kekuasaan politik. Hal ini menunjukkan bahwa representasi politik tidak mencerminkan proporsi populasi orang asli Papua secara adil, yang dapat mengarah pada ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan politik.

Keterbatasan Partisipasi Orang Asli Papua (OAP)

Kemungkinan terdapat kendala aksesibilitas terhadap pendidikan politik dan sumber daya yang menghambat partisipasi politik masyarakat asli Papua. Kurangnya aksesibilitas tersebut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai, kurangnya kesempatan ekonomi, atau hambatan sosial budaya yang membatasi keterlibatan mereka dalam proses politik.

Ketidaksetaraan Dalam Pengambilan Keputusan

Dominasi non-OAP dalam pengambilan keputusan politik dapat menghasilkan kebijakan dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat asli Papua dengan baik. Ketidaksetaraan ini dapat menciptakan ketegangan sosial dan politik serta memperpanjang ketimpangan ekonomi antara kelompok etnis.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Dominasi non-OAP dalam DPRD Kabupaten/Kota dapat memiliki dampak signifikan pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi, yang pada gilirannya dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi di Tanah Papua.

Perlunya Pembaharuan Sistem Politik

Melihat gejala marginalisasi ini, diperlukan tindakan pembaharuan dalam sistem politik untuk memastikan representasi yang lebih adil bagi semua kelompok masyarakat di Tanah Papua. Reformasi electoral dan kebijakan afirmatif mungkin diperlukan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat asli Papua dan memastikan bahwa suara mereka diakui dan didengar dalam proses politik.

Dengan memahami gejala marginalisasi ini, diharapkan langkah-langkah dapat diambil untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan merata bagi semua warga Tanah Papua. Hal ini dapat membantu memperkuat demokrasi dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan adil di wilayah tersebut.

Hal tersebut menggambarkan beberapa aspek gejala marginalisasi dalam politik di Tanah Papua dengan mendalam dan komprehensif. Poin-poin yang disorot mencakup ketidakproporsionalan kursi, keterbatasan partisipasi orang asli Papua (OAP), ketidaksetaraan dalam pengambilan keputusan, dampak sosial dan ekonomi, serta perlunya pembaharuan sistem politik. Mari kita bahas lebih detail setiap poin yang dimaksud.

Ketidakproporsionalan Kursi DPRD

Ketidakseimbangan ini menunjukkan perlunya distribusi kekuasaan yang lebih merata untuk memastikan representasi politik yang adil bagi masyarakat asli Papua. Dengan dominasi non-OAP dalam sejumlah daerah, perlu adanya langkah-langkah untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini agar suara masyarakat asli Papua memiliki bobot yang setara dalam pengambilan keputusan politik.

Keterbatasan Partisipasi Orang Asli Papua (OAP)

Kendala aksesibilitas terhadap pendidikan politik, sumber daya, dan faktor sosial budaya dapat menghambat partisipasi politik masyarakat asli Papua. Upaya-upaya perbaikan diperlukan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan politik, menciptakan peluang ekonomi yang lebih merata, serta mengatasi hambatan sosial budaya yang mungkin menghalangi keterlibatan politik mereka.

Ketidaksetaraan Dalam Pengambilan Keputusan

Dominasi non-OAP dalam pengambilan keputusan politik dapat menghasilkan kebijakan dan pembangunan yang tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Penting untuk memastikan representasi yang adil dari semua kelompok masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik untuk mencegah ketidaksetaraan ini.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Dominasi non-OAP dalam kursi DPRD Kabupaten/Kota dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelompok etnis. Hal ini bisa memperdalam ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dan peluang, yang pada gilirannya memperburuk kondisi sosial di Tanah Papua. Kebijakan yang memperbaiki ketidaksetaraan ini perlu diimplementasikan untuk mengurangi dampak negatifnya.

Perlunya Pembaharuan Sistem Politik

Perlunya pembaharuan dalam sistem politik untuk memastikan representasi yang lebih adil bagi semua kelompok masyarakat di Tanah Papua. Reformasi electoral dan kebijakan afirmatif mungkin diperlukan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat asli Papua dan memastikan suara mereka diakui dalam proses politik.

Melalui pemahaman mendalam tentang gejala marginalisasi ini, diharapkan langkah-langkah konkret dapat diambil untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan merata bagi semua warga Tanah Papua (terlebih khusus OAP), memperkuat demokrasi, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan adil di wilayah tersebut.

-Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Komunikasi , Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Anggota Bidang Kominfo KOMAPO Pusat