Oleh : Kris Dax Ningdana
Tempat sakral atau dalam bahasa latin saramentul adalah tempat keramat yang dipercaya oleh masyarakat setempat dengan berbagai mitos seperti yang sering kita dengar untuk sebutan adanya penunggu, tuan tanah penghuni bumi, suanggi dan lain-lain. Kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral ini juga ada di Pegunungan Bintang, khususnya pada suku Ngalum.
Secara umum manusia suku Ngalum sudah dari nenek moyangnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam sekitar. Oleh sebab itu, kebiasaan mereka percaya pada leluhur, roh yang bersemayam di tempat sakral (Alutbali). Suku Ngalum percaya bahwa manusia suku Ngalum setelah meninggal rohnya tinggal seperti di pohon, gunung, air, goa dan sebagainya.
Orang suku Ngalum khususnya di daerah Okbibab (daerah saya) biasanya di tempat yang disakralkan itu dipercaya sebagai tempat roh manusia tinggal, dan dipercaya sebagai tempat yang tidak boleh ada gangguan sama sekali. Misalkan orang setempat mengganggu tempat tersebut, maka akan kena akibat seperti sakit, maupun musibah lain yang datang dari pada roh yang mendiami tempat tersebut.
Adat istiadat suku Ngalum ini juga seringkali menghitung dan memperhatikan dampak baik buruk ekosistem alam, kemudian batas wilayah ekologi tempat sakral dengan patokan marga.
Marga suku Ngalum juga beragam misalnya di Okbi, wilayah setiap kampung di batasi dengan tempat sakral seperti gunung, sungai, pohon, gua dan lain-lain. Dan itu semua diatur oleh marga. Seperti marga Ningdana mendiami dan memiliki wilayah Oktanglap sebagai tanah mereka yang dianugerahkan oleh leluhur nenek moyang marga Ningdana itu sendiri. Begitu juga dengan marga Nalsa dan Asiki/Kaladana yang menempati kampung Iriding sebagai tanah air yang ditinggal serta diberi, dianugerahkan oleh nenek moyang marga nalsa dan Asiki/Kaladana itu sendiri. Sehingga marga-marga ini klaim secara adat bahwa itu milik mereka.
Marga juga juga sering dikaitkan dengan tempat sakral dan tempat sakral itu milik marga itu sendiri misalnya Okalut (sungai/kali sacral) yang mengalir di kampung setempat seperti di kampung Iriding itu milik marga Kalakmabin dan Uropmabin jadi, jika orang asing mandi di Okalut itu kemudian orangnya sakit maka yang bisa berdoa untuk menyembuhkan adalah marga kalakmabin dan uropmabin diatas.
Setelah mengalami dan menjalani kemudian sempat juga ikut partisipasi dalam tutur kata, kalimat, ungkapan dan mengakui bahwa memang tempat sakral ini di akui dan di percaya sebagai roh manusia suku Ngalum yang mendiami tempat itu.
Di setiap kampung pasti ada Alutbali tempat sakral yang abadi, yang kemudian setiap kampung juga menaati regulasi dari nenek moyang suku Ngalum itu sendiri yang mana Alutbali itu dipercaya sangat penting untuk dipelihara, dilindungi serta diabadikan.
Gunung Sakral
Salah satu yang diabadikan yaitu gunung Juliana Top atau yang kita kenal dengan penyebutan gunung Mandala yang dalam bahasa Ngalum disebut gunung Aplim – Apom. Gunung ini juga diabadikan sebagai tempat penciptaan suku Ngalum, tempat peradaban suku Ngalum serta tempat bersemayamnya roh leluhur bangsa orang suku Ngalum.
Gunung ini juga memiliki dua nama dalam bahasa Ngalum yakni Aplim dan Apom yang bisa diterjemahkan atau diartikan Aplim sama dengan Api kemudian Apom sebagai Air. Dipercaya pada malam hari di Aplim biasanya api menyala sampai mati di siang hari, lalu akan hidup lagi di malam hari. Sedangkan Apom dipercaya ada Perempuan yang tinggal di gunung tersebut dan sering mencuci baju di telaga di bawa gunung Apom sepanjang siang hari lalu akan hilang di malam hari. Perempuan itu diyakini sebagai perempuan penghidupan atau dalam bahasa Ngalum (Onongkor).
Kesimpulan
Dari semua mitos dan kepercayaan inilah yang mengingatkan saya pada topik ini sebagai acuan dasar untuk bagaimana menjaga dan melindungi ekosistem, ekologi serta sejarah bangsa suku Ngalum supaya generasi kedepan ada pemikiran untuk menjaga Eksistensi Sejarah, dan Budaya suku Ngalum.
-Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Anggota Komapo Korwil Salatiga Solo