Penulis : Timotius Aomsen

“Orang Pendatang Makin Kaya, Orang Pribumi Tetap Miskin Di Atas Tanahnya sendiri”. 

Spangal kutipan di atas, melukiskan kondisi riil di Tanah Papua saat ini yang sarat akan pemekaran dan kuat akan arus transmigrasi.  Semakin banyak populasi orang pendatang dan semakin sedikit orang asli Papua (OAP). Orang Papua semakin tersingkirkan dan pemekaran terjadi secara besar-besaran.

Jumlah OAP hingga saat ini belum diketahui secara jelas, walaupun telah dilakukan pendataan sensus penduduk.  Hal ini disebabkan karena pelaksanaan pendataan sensus penduduk tidak dilakukan dengan tepat. Mestinya dilakukan pendataan secara kelompok yang terpisah antara OAP dan non-OAP. Jika Pendataan sensus penduduk dilakukan dengan menerapkan 2 metode seperti yang sudah disebutkan, maka dipastikan kita bisa mendapatkan data dengan jelas berapa jumlah OAP yang pasti saat ini. 

Pada prinsipnya saat ini jumlah penduduk OAP sangat sedikit bila dibandingkan dengan penduduk pendatang (non-OAP). Hal itu dapat terlihat dari pengisian kursi  penting di Pemerintahan Eksekutif maupun Legislatif, perusahaan-perusahaan, dan bidang ekonomi (usaha/pasar) hampir 70% di Papua didominasi/dikuasai oleh non-OAP. Hal itu disebabkan juga karena faktor transmigrasi yang masif sejak awal hingga saat ini, ditambah lagi dengan pemekaran 4 provinsi ini akan menjadi malapetaka buat eksistensi OAP. 

Transmigrasi                        

Berdasarkan fakta sejarah, sejak awal masuknya pemerintahan Indonesia di Tanah Papua pada 1 Mei 1963, sejak itu diberlakukan program Transmigrasi besar-besaran yakni perpindahan penduduk luar Papua seperti dari Jawa, Sulawesi, dllnya, datang ke Papua  menetap di Papua.

Diketahui, bahwa Program Transmigrasi itu telah ada sejak masa pendudukan Belanda di wilayah-wilayah jajahannya seperti di wilayah Hindia Belanda (Indonesia), dan Nederland Nieuw Guinea (Papua). Indonesia sendiri saat ini mengadopsi cara-cara kolonial Belanda di Papua. Hal itu sudah menjadi program negara yang terselubung, dan tersistem. Dengan adanya transmigrasi telah jelas menutup peluang kerja bagi OAP di segala bidang, dan di segala sektor di Tanah Papua. Mulai dari Perkantoran, Karyawan toko/swalayan, hingga di pasar-pasar. Bidang ekonomi, sektor pemerintahan, hingga jabatan politik semuanya hampir dikuasai oleh non-OAP. Semua ini terjadi begitu saja didepan mata. Namun, anehnya tidak ada suatu tindakan nyata yang dapat membatasi hal itu, atau setidaknya mengurangi arus pendudukkan golongan pendatang tersebut, baik dari Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, di Papua sendiri.

Walaupun dilain sisi program transmigrasi sendiri telah diakhiri pada tahun 2000, tetapi yang diakhirir/diberhentikan itu adalah program pemerintah secara nasional. Karena gelombang protes dan terjadi banyak konflik. Termasuk transmigrasi yang diprogramkan ke Papua. Namun, terlepas dari itu, transmigrasi perpindahan penduduk dalam bentuk kecil yakni secara perorangan, atau keluarga membawa keluarga ini terus bertumbuh, membludak berdatangan ke Papua. Sulit untuk dapat dibatasi. Bentuk/model transmigrasi seperti ini sangat sulit untuk dibendung. Hal ini lama kelamaan menjadikan tidak seimbang populasi penduduk di Papua antara OAP dan no-OAP setiap tahunnya. 

Pemekaran

Kita tahu bahwa saat ini tanah Papua sudah dibagi-bagi yang awalnya hanya 2 provinsi saja, sekarang sudah menjadi 6 Provinsi yaitu Provinsi Papua Selatan yang Ibu Kotanya di Merauke, Provinsi Papua Pegunungan yang Ibu Kotanya di Jayawijaya, Provinsi Papua Tenga yang Ibu Kotanya di Nabire, dan Provinsi Papua Barat Daya Ibu Kotanya di Kota Sorong. 

Pemekaran sudah terjadi dimana-mana, akan tetapi orang asli Papua masih saja terpinggirkan dan termarjinal di atas tanahnya. Masih banyak yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak, rumah yang layak, dan kehidupan yang layak. Semua itu belum terwujudkan.

Hingga saat ini jumlah pengangguran OAP baik yang berijazah maupun tidak berijazah masih banyak. Hal ini yang perlu dilihat oleh pemerintah. Hal ini yang perlu disuarakan oleh DPR sebagaimana mestinya tugas untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Namun, hal itu tidak pernah dilihat oleh merek (para pejabat).

Sejak pemekaran itu terjadi terlihat pemerintah di seluruh Papua seperti Gubernur, Bupati, dan DPR se-tanah Papua, tidak berbuat hal yang pro terhadap nasib OAP.  Mereka (para pejabat) terkesan santai melihat dan menikmati hal itu terjadi.  Mestinya para pejabat Papua bisa bersuara melihat realitas kesiapan SDM Papua dan juga kesiapan dari hal-hal teknis lainnya. Agar pemekaran itu benar-benar terealisasi betul sesuai kebutuhan orang asli Papua. Bukan pemekaran yang terjadi atas keinginan Jakarta yang sudah pasti bertolak belakang.   

Dari masuknya transmigrasi besar-besaran ke Papua sejak Indonesia menganeksasi Papua tahun 1963, hingga sampai saat ini jumlah orang Papua semakin minoritas di atas tanahnya. Masyarakat Orang asli Papua sendiri tidak diberdayakan dengan baik oleh pemerintah, lantas apa tujuan diterimanya pemekaran? Hal ini patut dipertanyakan.

Kesimpulan

Dengan melihat realitas di Papua saat ini, yang mana masifnya transmigran, OAP semakin minoritas dan hadirnya pemekaran maka dapat dipastikan masa depan nasib orang asli Papua di atas Tanahnya sendiri akan tidak baik-baik saja. Orang Papua semakin tersingkirkan. Untuk itu, dibutuhkan perhatian khusus dari pemerintah agar dapat mengantisipasi terjadi ketimpangan sosial. Bukan hanya pemerintah saja, akan tetapi generasi muda Papua saat ini juga perlu untuk menyadari situasi Papua saat ini. Generasi muda sebagai tolak ukur dan harapan masa depan Papua, maka perlu untuk menyiapkan diri dengan baik dalam proses pendidikan agar kelak bisa menjadi solusi buat memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan politik serta menyuarakan hak-hak orang Papua di atas tanah Papua. Dengan begitu, orang Papua tidak akan termarjinalkan di atas Tanahnya sendiri.

Editor : Imanuel H. M