Penulis: Ishak Bofra

Surga secara teologial adalah kehidupan akhiran yang baik, oleh karena itu kehidupan di bumi harus di jalankan sesuai dengan perintah dan ajaran Tuhan. Esensi surga adalah ketika manusia tidak di korbankan oleh kepentingan segelintir orang untuk mengeruk kekayaan bagi individu, kelompok, Negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Tetapi rakyat kecil dikorbankan untuk menanggung semua penderitaan hidup ini. Namun pada konteks ini saya tidak membicarakan surga karena itu adalah wewenang rohaniwan, baik pendeta/pastor dan haji.

Secara teologi surga adalah urusan manusia dengan Tuhan. Tetapi yang akan coba kita lihat bersama adalah bahwasannya ada suatu bangsa yang kehidupannya dirusak oleh komprador kapitalisme berselingkuh dengan rezim Negara untuk mengahancurkan surga di tanah Papua.
Surga menurut pandangan saya adalah alam Papua karena kehidupan rakyat Papua diberikan oleh Alam, sehingga rakyat Papua sangat menghargai Alam. Alam menyediakan makanan bagi rakyat Papua, seperti babi, burung, ikan, soa-soa, tikus hutan, buaya, kus-kus, rusa, dsb. Ini semua disediakan bagi rakyat Papua.

Hutan di Papua disediakan untuk masyarakat bercocok tanam dengan berbagai jenis umbi-umbian, seperti singkong, ubi jalar, talas, sagu yang tersedia di hutan. Begitupulah alam menyediakan berbagai jenis sayuran seperti pakis, genemo, gedi, jamur di kayu, Gohi, dsb.
Alam Papua juga menyediakan air untuk minum lebih sejuk dan segar dari air aqua yang menjadi komoditi saat ini. Ketika membuat hunian/rumah, alam telah menyediakan kayu, rotan, pelepa sagu atau alang-alang, rotan, dsb. Untuk kebutuhan kesehatan masyarakat Papua dapat memanfaatkan ramuan-ramuan tradisional untuk mengobati penyakit, dan khasiatnya sangat baik karena selalu berhasil menyembuhkan setiap penyakit.

Semua ini adalah anugerah secara alamih disediakan oleh Alam Papua untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup rakyat Papua. Alam juga merupakan simbol pertemuan antara orang Papua dengan Tuhan. Namun ilmu modern dalam kajianantropologi menganggap itu animisme atau penyembahan berhala. Hal tersebut menurut saya keliru karena pada prinsipnya penyembahan tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun dan diyakini bahwa dengan cara tersebut orang Papua bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Misalnya di Kabupaten Tambrauw, tradisi masyarakat suku Karoon melakukan komunikasi dengan Tuhan biasanya di Totor, tempat yang disakralkan ( suci ) bagi suku Karoon. Sama halnya umat Katolik menempatkan patung Yesus dan Bunda Maria di Goa sebagai tempat penyembahan kebesaran Tuhan.
Penyembahan kepada Sang Ilahi oleh masyarakat suku Karoon di Totor sudah dilakukan sejak turun-temurun hingga kini. Sebenarnya esensinya sama dengan agama modern yaitu berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan sebagai ucapan syukur atas keberhasilannya dalam segala usaha, misalnya ucap syukur atas hasil tanaman diladang dan hasil buruan.

Sebelum orang Papua kontak dengan dunia luar, kehidupan mereka berkelompok. Ini sesungguhnya adalah surga, karena segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya membuka lahan perkebunan bersama, bayar maskawin, bangun rumah, berburuh, dsb. Hal ini merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan, agar kebersamaan dan kesatuan sebagai satu keluarga tetap kokoh. Dengan demikian, pentingnya sosial bermasyarakat seperti yang diajarkan dalam ilmu sosial modern telah dipraktekan orang Papua sejak dulu kalah sebagai suatu kewajiban, hal tersebut terjadi secara alamiah, yang di yakini sebagai pemberian Sang Ilahi.

Bayang-bayang setan
Dalam Alkitab perjanjian lama kita kenal manusia pertama Adam dan Hawa. Kehidupan mereka pada awalnya tanpa kekurangan karena semua sudah disediakan oleh Allah, namun karena bujuk rayu setan akhirnya mereka jatuh dalam dosa dan surga yang indah itu hilang sekejap. Ini sebagai suatu perbandingan dalam kehidupan masyarakat Papua. Kalaupun tidak relevan, saya pikir beberapa hal bisa menjadi tolak ukur dalam perbandingan. Merujuk pada beberapa data, sekitar Abad XVIII-XIX bayang-bayang setan sudah mulai bergentayangan di tanah Papua, walaupun setan itu ada yang berbulu domba namun berhati harimau.
Ketika orang Eropa yang menjelma menjadi beberapa sel-sel yang berbeda namun mempunyai jaringan yang satu yaitu untuk kepentingan ekonomi dan politik. Mereka hadir sebagai peneliti, ada yang hadir sebagai pemberi kabar keselamatan yaitu Misi Katolik dan Protestan, walaupun tidak menafikan bahwa mereka mempunyai jasa untuk membawa suatu perubahan bagi orang Papua. Walaupun demikian, kebanyakan orang selalu mengatakan,“ tidak ada makan siang yang gratis”, sehingga pasti ada agenda terselubung yang mungkin kita tidak ketahui, namun itu menjadi kenyataan, dimana segala sisi kehidupan orang Papua berada diambang kehancuran dalam segala segi aspek kehidupan.

Abad XIX
Pada abad ke19 semakin masif para misionaris membangun keselamatan jiwa di tanah Papua, dengan menyebarkan dogma agama Katolik dan Protestanmulai dari pesisir pantai, lembah sampai di pegunungan. Agama modern ini disebarkan dan ditanamkan di benak masyarakat Papua sehingga perlahan-perlahan masyarakat Papua mulai meninggalkan agama tradisionalnya, dengan alasan penyembahan berhala (memuji dan menyembah setan). Namun tanpa disadari bahwa masyarakat Papua sudah mulai dijauhkan dari Alamnya, sehingga Alam dijadikan sebagai sarana komoditi.
Pada abad 19-an terjadi gejolak perang dunia keII, tujuannya adalah ekpansi daerah koloni, baik yang baru maupun mengusir Negara yang telah menguasai daerah koloni. Hal tersebut dialami bangsa Indonesia selama 3,5 abadoleh kekuasaan Belanda guna memperkuat ekonomi kerajaan Belanda. Akibat perang tersebut, Belanda mengalami kekalahan sehingga menyerahkan Indonesia kepada Jepang yang tergabung dalam kelompok fasisme bersama Italia dan Jerman memperebutkan daerah jajahan untuk ekspansi ekonomi.
Namun, Jepang hanya sementara di Indonesiasekitar 3,5 tahun, karena Amerika melumpuhkan kekuatan Jepang dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dengan maksud agar tidak menguasai Asia Tengara dan ke Pasific. Dengan demikian, Jepang pun bertekuk lutut kepada sekutu yang di pimpin oleh AS. Memanfatkan kekalahan Jepang, Ir. Soekarno memproklamirkan kemederkaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ( 69 tahun yang lalu), namun kemerdekaan itu tidak berjalan dengan mulus karena masih ada kontradiksi (pertetangan ) dengan Belanda yang masih menginginkan Indonesia tetap sebagai daerah koloninya karena melihat sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah, tentunya akan sangat menguntungkan perekonomian Belanda.
Perpolitikan pasca perang dunia ke-II dimanfatkan secara cerdas oleh Ir. Soekarno,disaat dunia sedang terjadi perang Ideologi yang memanas antara kelompok Barat yang dipimpin oleh AS vs kelompok Timur dipimpin oleh Uni Soviet. Dengan memanfaatkan situasi terbut Ir.Soekarno mengamankan kemerdekaan Indonesia dan merebut Papua ke pangkuan NKRI. Perebutan Papua dengan cara negosiasi ekonomi antara Indonesia dan Amerika sehingga Belanda yang waktu itu terjadi krisis ekonomi dan mengharapkan bantuan dari Amerika dengan keadaan terpaksa mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Papua diserahkan kepada Indonesia melalui proses Pepera yang penuh dengan manipulatif, rekayasa dan penuh intimidasi, sehingga telah mengorbankan nasib rakyat Papua. Permainan AS yang cukup cerdas membuat Indonesia menyerahkan lahan garapan emas dan tembaga di Papua (PT. Freeport), sebelum dilakukan Pepera pada tahun 1969. Indonesia memberikan hadiah kepada AS berupa “Gunung Emas” di Timika karena berhasil menceplokan Papua ke pangkuan Indonesia melalui proses hukum Internasional yang tidak bermartabat. Permainan tersebut semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan politik yang dampaknya kita rasakan hingga hari ini.

1969-2000 surga papua dihancurkan
Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia merebut Papua dengan cara yang tidak manusiawi dan penuh dengan manipulatif dengan mengorbankan HAM dan hukum Internasional. Proses Pepera yang dilakukan tahun 1969 sampai saat ini masih kontradiksi antara Indonesia dan Rakyat Papua. Untuk itulah, Rakyat Papua selalu berusaha mengajak Indonesia untuk meluruskan sejarah Papua melalui mekanisme internasional, namun dengan beragam alasan pemerintah Indonesia pembelokan isu-isu tersebut dengan cara mereka yang sebenarnya tidak dimengerti dan terima rakyat Papua.
Permainan raksasa dunia dan antek-anteknya mengakibatkan masyarakat Papua mengalami penindasan disegala bidang kehidupan. Salah satu babak baru kehancuran Papua adalah lahirnya UU penanaman modal asing pada tahun 1965. Dua tahun kemudian masuklah PT.Freeport Indonesia di Papua sebelum dilakukan Pepera tahun 1969. Proses eksplorasi dan eksploitasi terus dilakukan hingga 2041 nanti, dampaknya perusahaan ini telah menghancurkan tatanan kehidupan Masyarakat Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat di sekitar area beroperasinya PT.Frepoort Indonesia.
Hadirnya perusahaan raksasa ini telah membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi para kapitalis untuk masuk dan merusak tatanan hidup dan eksistensi manusia Papua agar dengan mudah mengeruk sumber daya alam yang ada di tanah Papua. Misalnya perusahaan minyak di daerah Sorong, tambang di Degeuwo, Kelapa Sawit di Jayapura dan Arso, pemburu gaharu di Merauke dan Mamberamo, yang telah merusak lingkungan dantatanan hidup masyarakat Papua. Masuknya perusahaan tersebut dibarengi juga dengan masuknya PSK yang terjangkit HIV/AIDS, dengan cara inilah pemusnaan terhadap penduduk pribumi dilakukan agar perusahaan secara bebas melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang ada tanah Papua.
Ilegal logging dilakukan secara masif di tanah Papua menyebabkan kehancurkan ekosistem hutan dan tempat-tempat sakral. Paling mengerikan lagi adalah pembebasan lahan secara besar-besaran untuk kepentingan transmigrasi sekitar tahun 1980-1990 dari Sorong sampai Merauke tanpa membayar ganti rugi kepada pemilik hak ulayat, sehingga boleh dikatakan “pencurian tanah hak ulayat”. Perlu disadari bahwa tanah di Papua semua bertuan, tidak ada tanah yang tidak bertuan. Dimana, hak ulayat tanah adalah warisan leluhur kepada suku dan klen sejak turun-temurun, bahkan sebelum adanya negara sehingga sangat tidak manusiawi jika tanah yang merupakan alat produksi vital manusia di rampas dengan kekuatan Negara untuk kepentingan transmigrasi tanpa izin dan imbalan kepada pemilik hak ulayat.
Perusahaan Gas LNG di Tanggul Bintuni yang masih dalam tahap eksplorasi ini juga ke depan akan mengancam eksistensi kehidupan masyarakat Papua. Lingkungan akan hancur karena watak kapitalisme adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, maka kedepan masyarakat tetap akankorban seperti nasib suku Amungme dan Kamoro di Timika.
Pembelian tanah di Merauke untuk program Merauke Integrated Food and Energy Estate ( MIFEE ) mengancam kehidupan masyarakat lokal Papua, serta pengrusakan hutan secara besar-besaran akan mengakibatkan beragam musibah karena telah menyerahkan alam yang adalah tempat berlindungnya sang leluhur.

Selain itu, kekerasan terus terjadi diseluruh tanah Papua yaitu penculikan, pemerkosaan, pembunuhan terhadap rakyat Papua gencar dilakukan dengan kekuatan Negara. Pada masa orde baru secara sporadis merampas hak hidup masyarakat Papua sehingga menimbulkan penderitaan dan trauma yang begitu mendalam.

Paruh 2000-an
Kompromi politik antara Rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia akhirya melahirkan produk UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dengan jargon saatnya orang Papua menjadi tuan di negri sendiri. Namun slogan yang sering dikatakan oleh kelompok oportunis yang memanfatkan kesempatan untuk menjadi penguasa yang tidak jelas orientasinya. Sehingga yang ada hanya kemiskinan belaka. Akibat dari statemen saatnya orang Papua menjadi tuan di negri sendiri membuat orang Papua terlalu eksklusif seperti tempurung yang terkurung di bawah alam kebodohan yang menutup diri untuk sesama orang Papua.
Membuka diri untuk imigrasi gelap di Papua yang kelak menguasai semua sektor kehidupan di Papua dan kembali menjajah orang Papua adalah potret buram yang harus kita mencoba untuk mengevaluasi. Bahwasannya siapa saudara, siapa musuh, harus jelas agar penjajahan di Papua tidak merajalela seperti saat ini. Kemudian, akan muncul pertanyaan mengapa kita terlalu bodoh memberi ruang kepada penjajah, penindas dan menutup pintu kepada saudara kita sesama orang Papua? Hal ini adalah kehancuran yang memang sudah di agendakan oleh penjajah untuk menjauhkan semangat persudaran dan kebersamaan kita sebagai orang Papua yang katanya hitam kulit dan keriting rambut. Kalau dalam hal ini tidak diakhiri, sekarang masa depan Papua berada dipersimpangan jalan antara hidup atau punah, tergantung sikap kritis kita dewasa ini (Komnews, 2014)

Penulis Adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta