Pengukuhan sebagai anak adat dan penyematan marga Wenda kepada Ir. Jhon Rende Mangontan mengundang kecaman dari kaum intelektual dan tokoh tanah Papua. Seperti Pares L.Wenda, Wakil Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Sekretaris Baptis Voice, mengecam kembalikan marga Wenda kepada pemiliknya, seperti yang dimuat di tabloid jubi, (26/03/14) bahwa: Sebagai anak Baliem dan juga sebagai orang yang bermarga “WENDA” sejak lahir melalui keluarga dengan marga Wenda, sangat tidak setuju dengan pemberian marga “WENDA”. Saya orang Wenda tidak mungkin saya menjadi Kogoya, Tabuni, Tellengen, Enembe, dll. Sampai Tuhan memanggil saya kembali ke pangkuanNya. Ini cara-cara kolonial, cara tidak menghargai warisan budaya yang mesti dipertahankan, jangan perdagangkan “Marga saya sebagai WENDA” saya lebih terhormati ketika saya mati dengan marga Wenda bukan dengan cara memperdagangkan marga Wenda seperti ini, ungkapnya.
Tanggapan yang sama datang dari Tokoh Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, anak adat Baliem yang mendapat gelar “Dumma” mengatakan dengan tegas, penyematan nama anak adat dan marga Wenda kepada Jhon Rende Mangontan adalah sebuah penghinaan. “Itu penghinaan dan pelecehan harga diri dan martabat orang Papua pada umumnya dan lebih khusus orang gunung, (Majalahselangkah Rabu, 26/03/04).
Kecamatan yang dialamatkan kepada penyandang marga Wenda tersebut, membuat saya ingin tahu lebih dalam tentang Sosok Jhon Rende Mangontan?. Ketika menulusuri melalui google, saya menemukan profilnya yang dimuat di www.bintangpapua.com, Kamis (26/03/14). Bahwa Jhon Rende berasal dari Toraja, dilahirkan di Toraja, Sekolah dasarnya dimulai di SD Negeri Kandora Toraja pada 1981, masuk SMP Angkasa Lanud di Makassar 1983. Kemudian pergi meninggalkan kampung halamannya dan ke Kota Jayapura tinggal dirumah pamannya, sempat nganggur setahun 1984, tahun berikutnya ia masuk sekolah di SMA Taruna Dharma di Kotaraja dan lulus pada 1988. Sepak terjangnya di Papua mulai tahun 1996, saat itu Jhon mencoba masuk dunia kontraktor sampai kini dibawah bendera PT. Yotefa Indah dan PT. Vita Engineering Kontraktor. Perusahaannya itu bergerak dibidang engineering, dia direktur utamanya, bersamaan itu ia menjadi komisaris utama juga di PT. 3L Arung Samudra. Dunia konsultan dan kontraktor membuat Jhon setiap hari harus berkeliling ke semua wilayah hinggga sudut-sudut Kabupaten, Kota, distrik di Provinsi Papua ini. Buah karyanya bisa dilihat diberbagai Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Memberamo Raya, dsb. Selain bergelut di infrastruktur jalan serta pemeliharaannya, ia juga terlibat dalam pembangunan perumahan dan jaringan air bersih, masih banyak sebenarnya karya karya tangan Jhon.
Berdasarkan sepak terjangnya di tanah Papua, dia memang orang yang sangat berpengaruh. Kita sebagai pemilik tanah Papua harus mengapresiasi atas keberhasilannya dalam membangun infrastruktur dan perekonomian tanah Papua. Apresiasi juga atas cinta kasih kepada masyarakat Papua melalui aksi-aksi sosial kemasyarakatan. Aksi sosial yang dilakukan Beliau belum tentu kita pemilik negri lakukan, sehingga dibutuhkan keterbukaan, pengertian dan pemahaman atas kelebihan dari masing-masing pihak.
Terlepas dari itu, dilihat dari sisi politik kekuasaan, berbekal pengalaman, relasi dan modal yang sangat besar, menghipnotis para politikus prakmatis putra daerah Papua bersandar padanya bagaikan Benalu, seperti Agus Wenda CS dan orang-orang yang mengaku diri sebagai kepala-kepala suku di Balim. Tidak hanya di Balim, saat kampanye partai Nasdem di Jayapura dan Merauke mendapat dukungan yang sangat banyak dari masyarakat asli Papua. Jika dilihat dari sisi politik, hal ini menjadi tanda tanya besar bagi pemilik negri Papua?. Apakah masyarakat Papua sudah tidak percaya bagi putra asli Papua ?. Pertanyaan reflektif yang perlu dijawab oleh pribadi masing-masing.
Terlepas dari muatan politis, penulis lebih melihat asal usul marga menurut pandangan Manusia Aplim Apom Papua.
Berangkat dari penciptaan, mulanya dunia ini hampa, tak berisi atau tanpa kehidupan. Lalu Atangki (Allah) berfirman, maka jadilah tanah (mangol), jadilah tumbuh-tumbuhan (abenongmin), jadilah terumbu karang di air/laut, (okmin), dan aneka biota air. Atangki menciptakan segala jenis hewan baik hewan langka maupun melata, binatang buas maupun yang jinak, dan juga beraneka macam binatang. Atangki selanjutnya menempatkan mereka yang di darat (Dong Kaer), air (Ok Kaer), dan udara (Dam Kaer). Lalu pada tahapan akhir ia menciptakan manusia laki-laki dan menamakannya Kaka I Ase (Bapak segala bangsa). Untuk menemaninya, Atangki kemudian menciptakan seorang perempuan dan menamakannya Kaka I Onkora (Ibu segala bangsa).
Penciptaan laki-laki dan perempuan pertama tersebut terjadi di Aplim Apom, dua buah gunung yang terletak di daerah Pegunungan Bintang. Tempat inilah yang disebut oleh orang Belanda sebagai Strenge Bergeete/ puncak Yuliana atau yang dikenal sebagai Puncak Mandala. Di sinilah Atangki menciptakan manusia pertama dalam mitologi manusia suku bangsa Ok dan Mek. Setelah menciptakan mereka, Atangki menempatkan mereka di sebuah dataran antara Aplim dan Apom, yang dikenal dengan sebutan Bannal Bakon. Di tempat inilah manusia pertama mulai membagi jalur untuk menguasai bumi. Di tempat ini pula dalam kepercayaan suku bangsa Ok dan Mek, seluruh manusia di muka bumi ini berasal. Dalam perjalanannya menuju Banal Bakon, Kaka I Onkora dan Kaka I Ase melakukan hubungan intim/hubungan badan, dan menurunkan 4 anak yaitu: Urop, Kasip, Kakyar, dan Kalak. Kemudian anak cucu dari keempat bersaudara tersebut mulai berkembang dan menyebar kemana-mana. Cikal bakal marga berasal dari nama-nama anak cucu dari manusia pertama, kemudian timbul marga-marga baru. Jadi sesungguhnya marga adalah penyematan nama bagi anak cucunya, kemudian seiring peradaban manusia timbul marga-marga baru hingga kini. Sehingga mereka menyadari marga sebagai sesuatu yang bernilai historis dan suci karena pewarisan langsung dari manusia pertama. Setiap marga kemudian membentuk sebuah komunitas yang dinamakan sebagai komunitas Ap Iwol (komunitas marga), yang memilih kekayaan akan rumah adat, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, binatang, dsb. Semuanya merupakan kekayaan yang dibagikan manusia pertama kepada anak cucunya agar mereka tidak saling curi-mencuri tetapi mereka mengatur diri sendiri dengan sumber daya yang ada.
Berkaitan dengan pewarisan, yang paling fundamental, saya melihat marga sebagai “ Yapi” (darah). Istilah orang Ngalum “ Ne Yapi a” (Darah saya). Artinya orang yang berhak mendapat marga adalah orang yang ada hubungan darah secara turun temurun. Sekalipun anak adopsi, dalam cerita silsilah keturunan mereka tidak diakui sebagai darahnya. Pada upacara ritual dan pendidikan pendewasaan yang diselenggarakan dibawah otoritas Ap Iwol (pemerintahan klen), anak adopsi dididik dan diarahkan atas dasar marga aslinya, misalnya marga asli sitokdana, setelah diadopsi diberi marga Keduman, dalam pendidikan pendewasaan tahap tertentu anak adopsi tidak dilibatkan, jika melanggar, itu sama saja membunuh dia, dan juga mendapat musibah yang besar bagi marga adopsi karena melanggar nilai-nilai yang turunkan secara turun temurun. Hal ini terjadi karena marga berkaitan langsung dengan kekuatan alam sehingga masyarakat setempat menjunjung tinggi kemurnian alami atas marganya.
Ketika membaca berita tentang pengukuhan Ir. Jhon Rende Mangontan sebagai anak adat dan penyematan marga, mengingatkan saya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar di SD YPPK Abmisibil, Pegunungan Bintang. Waktu itu, ada isu-isu pemekaran kabupaten, peluang bisnis, dsb, Orang luar Papua, entah Maluku atau Sulawesi namanya Marsel. Dia diinisiasikan lalu beri nama dan marga Ngalumsine Marsel Urpon. Alasan penyematan itu tidak jelas, saya baru mengenal dia setelah diinisiasikan dan diantar ke gereja. Ketika itu, daerah saya terisolasi dari akses ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tidak tahu alasan penyematan itu. Setelah penyematan, Marsel hilang jejak, tidak tahu dimana Ia berada. Apakah ada kepentingan terselubung atas penyematan tersebut, perlu kita telusuri dan kritisi bersama agar tidak terjadi eksploitasi marga oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Berangkat dari persoalan ini, menurut hemat saya, yang patut dipersalahkan adalah terutama kita orang asli Papua sendiri. Mengapa? (1) Ketika pengaruh agama barat masuk ditanah Papua, kita sendiri terlibat membakar barang-barang sakral, yang adalah fondasi hidup bagi suku dan marga. Kemudian kita terlibat juga mencuci otak setiap generasi Papua dengan ajaran Abramik, sehingga pelan-pelan meninggalkan agama asli kita. Akibatnya, sekarang timbul manusia-manusia robot (buatan) yang tidak punya roh dan identitas diri. Kita tahu bahwa marga adalah warisan dari nenek moyang tetapi kita sudah jual wibawa dan harga diri kita kepada orang luar demi uang dan kekuasaan. (2) Disaat degradasi budaya, timbul manusia-manusia Papua yang prakmatis dan tidak bermoral. Dengan berlandaskan hukum kasih (ajaran barat) kita membagi celana dalam (membuka kesucian kita). Contoh, dengan dasar seiman (kristen), ditambah dengan sepak terjangnya di Papua, orang luar diapresiasi penuh oleh tokoh gereja. Sehingga pendekatan agama juga menjadi pertimbangan khusus dalam pemberiaan nama tersebut. Kalau dulu, sekalipun orang yang berbuat baik, tidak pernah menyematkan marga sembarang karena mereka tahu bahwa itu berhubungan dengan darah. (3) Demi uang dan kekuasaan, kita rela mengorbankan tanah, adat isti-adat, dan manusia. Yang sedang dan terus terjadi adalah Papua makan Papua, antara lain; pembunuhan, pemerkosaan, KKN, menjual tanah, mengizinkan eksplorasi dan eksploitasi SDA, dsb.
Pertanyaan berikut yang perlu diulas adalah pantaskah Ir. Jhon Rende Mangontan dikukuhkan sebagai pria berwibawa?
Yang dimaksud pria berwibawa adalah orang yang memiliki kemampuan atau kelebihan tertentu sehingga masyarakat setempat mengakuinya sebagai orang yang berwibawa. Menurut penelitian kemitraan untuk Papua, 2012 mengemukakan bahwa beberapa suku mengakui seseorang atas kewibawaannya karena mampu memimpin kepentingan umum masyarakat setempat, seperti : (a) memimpin upacara adat, (b) membuka kebun kampung, (c) mendirikan rumah, (d) mampu menyelesaikan masalah, (e) mampu mengambil keputusan, misalnya dalam kondisi perang suku. Tetapi keberadaan Bigman hanya sebatas diakui, dia tidak berhak atau mempunyai kewenangan untuk mengatur orang lain, terutama berkiatan dengan kekuasaan. Jika ada, itu hanya buatan kapitalis untuk kepentingan uang dan kekuasaan.
Saat ini, seiring dengan pengaruh arus modernisasi, adat-istiadat semakin hari semakin terdegradasi. Masyarakat adat setempat tergantung pada produk budaya luar. Disaat adanya ketergantungan, harga barang melambung tinggi, akses pasar dan daya beli masyarakat semakin lemah. Kondisi seperti ini otomatis telah melemahkan kekuatan masyarakat, sehingga mereka membutuhkan bantuan dari pihak lain. Disaat-saat tersebut, para politikus pragmatis memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk memberikan bantuan beras, supermi, pakaian, perumahan, dsb. Dengan cara itu, mereka meraup suara untuk kepentingan kekuasaannya.
Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya pemahaman akan nilai-nilai adat istiadat yang turunkan oleh sang leluhur. Faktor tersebut menjadi pemicu penyematan marga dan pengukuhan sebagai anak adat untuk kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, kita kaum intelektual harus berperan untuk mengingatkan dan mendorong lembaga adat Papua untuk tetap mengangkat harga diri kita melalui adat-isti adat yang diwariskan oleh leluhur kita. Kita harus kembali kepada sistem reliji yang dulu, bahwa sebelum agama barat masuk ditanah Papua kita sudah mengenal yang nama kebenaran dan cinta kasih. Hal ini juga diakui oleh beberapa tokoh gereja, sehingga dibutuhkan penyadaran diri dari intelektual Papua agar kita tidak mengikuti pola-pola luar yang dapat mengekploitasi kita sebagai makluk yang tidak punya harga diri. Marilah kita kembali mengenal diri kita, dari mana saya datang?, sekarang saya dimana? kemana saya akan pergi? (Melkior Sitokdana-Komnews, 2014)
